Gelombang pasang dari era digitalisasi telah
menciptakan perairan berombak ganas bagi peritel tradisional dan perusahaan consumer goods pada umumnya. Sejalan
dengan semakin berdayanya konsumen secara digital, permintaan akan
pengalaman-pengalaman berbelanja (shopping experience; user experience) semakin
tinggi. Konsumen menuntut adanya brand engagement, yang sekaligus berarti kemudahan
cara dalam setiap pengalaman pembelian barang maupun jasa, di berbagai kanal
distribusi. Industri B2C dipaksa untuk menjalani salah satu transformasi paling
dinamis dalam sejarah mereka.
Tanda-tanda kekalahan sebagai akibat
perusahan gagal menghadapi perubahan saat ini telah terlihat semakin nyata. Penutupan
toko, pergeseran tenaga kerja, dan likuidasi telah menjadi hal yang biasa bagi peritel
tradisional yang kandas mengikuti perkembangan digital. Dengan hadirnya para online disruptor yaang berhasil mencuri
pangsa pasar, ditambah lagi dengan respon konsumen yang positif terhadap
pilihan yang lebih besar, peritel dan perusahaan barang konsumen perlu
memikirkan kembali secara fundamental tujuan mereka untuk memastikan relevansi
di masa mendatang. Ini bukan krisis tradisional persaingan, pelaksanaan
operasional, atau komunikasi; ini adalah sebuah masalah eksistensial. Mereka
yang duduk diam pasti akan tertinggal.
Era Experience
Economy
Seperti yang sudah diprediksikan oleh Pine
dan Gilmore[i]
dua dekade yang lalu, kita saat ini berada di masa yang mereka sebut sebagai experience economy. Experience economy merupakan suatu pergeseran dari ekonomi
berdasarkan pada layanan konsumsi (consuming
services) atau memiliki sesuatu (owning
things), menjadi ekonomi yang didukung oleh investasi dalam pengalaman.
Pergeseran ini sebagian besar terjadi berkat adanya kemajuan teknologi dan,
tentu saja, lahirnya generasi
millennial.
Pada era ini, konsumen dan produsen digambarkan
secara bersamaan menciptakan value berupa pengalaman. Berikut adalah lima
peluang aktivitas penciptaan nilai (value-creating
activities[ii])
yang sangat mungkin akan mendorong kemajuan lebih jauh dalam era experience economy yang dinamis:
- Mempersonalisasikan barang (product customization).
- Meningkatkan layanan.
- Memberi harga untuk sebuah pengalaman.
- Memadukan teknologi digital dengan realita.
- Pengalaman transformatif.
Consumer
Journey
Experience economy sangat menitikberatkan
pentingnya memahami perjalanan konsumen (consumer
journey). Secara sederhana perjalan konsumen dapat dilustrsikan dalam
proses pengambilan keputusan konsumen. Memahami bagaimana konsumen menggunakan
internet adalah penting karena dalam proses pengambilan keputusannya,
seringkali konsumen menkombinasikan "web
rooming" (yaitu, kegiatan mengunjungi peritel setelah mereka
mengumpulkan informasi dari internet yang cukup mengenai harga, kinerja dan
kualitas online) dan "show rooming"
(yaitu, kegiatan mengunjungi peritel terlebih dahulu sebelum mencari web untuk
informasi tentang cara membeli produk secara online).
Penting untuk memahami perjalanan konsumen karena
pemasar harus membuat keputusan yang tepat sesuai dengan perilaku pembelian
yang berbeda-beda dari target pasar yang juga berbeda-beda. Kenyataannya, sulit
bagi pemasar untuk mengidentifikasi perjalanan pembelian konsumen melalui
metode penelitian tradisional yang ada, seperti survey misalnya. Hal ini karena
konsumen saat ini memanfaatkan beragam titik kontak atau touchpoints (misal: situs web, smartphone, media sosial, dll.)
dalam pencarian informasi online mereka. Hampir tidak mungkin memahami perilaku
online konsumen dengan akurat jika kita hanya bergantung pada ingatan responden
saja, seperti yang terjadi pada survey tradisional. Selain itu, kemudahan
perjalanan antara titik sentuh digital dan kunjungan singkat di setiap titik
sentuh memperkuat "pemikiran dekat-konteks" konsumen.
Di sini lah manfaatnya sebuah bisnis memiliki
consumer innovator, yaitu konsumen yang
tinggi tingkat engagement dan loyalitasnya. Mereka bisa menjadi sumber
informasi mengenai berbagai ragam perjalanan konsumen. Mereka paham betul seluk
beluk layanan yang kita tawarkan.
Inovasi
Model Bisnis
Peritel tradisional dan perusahaan barang
konsumen yang lambat menanggapi realita ini dapat menghirup kembali kehidupan
baru ke dalam organisasi mereka dengan cara membayangkan kembali bagaimana
mereka melayani pelanggan. Apabila kita mau melihat ke belakang dan
memperhatikan bagaimana perusahaan-perusahaan tradisional besar kandas, mereka
ternyata gagal memahami perilaku konsumennya. Mereka mengerjakan pekerjaan
rumah yang salah. Apa yang seharusnya benar-benar mereka lakukan adalah mengetahui
apa yang diharapkan untuk dicapai oleh pelanggan. Inilah yang kerap dikatakan
oleh para pakar sebagai job to be done[iii].
Berkat revolusi data yang besar, perusahaan
kini dapat mengumpulkan variasi dan volume informasi pelanggan yang luar biasa,
tentunya dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan pada saat
yang bersamaan melakukan analisis canggih terhadapnya. Banyak perusahaan telah
menetapkan proses inovasi yang terstruktur dan berdisiplin serta membawa talenta
yang sangat terampil untuk menjalankannya. Sebagian besar perusahaan menghitung
dengan hati-hati dan mengurangi risiko inovasi. Dari luar, tampak seolah-olah
perusahaan telah menguasai proses ilmiah yang tepat. Akan tetapi, sebagian
besar dari mereka belum mampu menjalankan disiplin tersebut.
Untuk mencapai tahap yang lebih maju dari
perdagangan digital dan untuk tetap selalu berkembang di dekade berikutnya, peritel dan perusahaan barang konsumen harus secara agresif
mengejar inovasi dan bersedia untuk merombak diri mereka sendiri. Empat model
bisnis[iv]
berikut memiliki potensi terkuat untuk mengubah perdagangan digital:
1.
Ekonomi berbagi (Sharing
economy). Ini pada dasarnya adalah pasar sewa/rental generasi kini yang
memungkinkan konsumen mengkonsumsi produk tanpa kepemilikan langsung.
Tokorental.com, sevva.co, dan babyloania.com adalah beberapa contoh layanan
yang telah hadir di tengah masyarakat.
2.
Ekonomi Personalisasi (Personalization
economy). Di sini para pakar merancang produk yang disesuaikan untuk
individu dan secara otomatis mengantarkannya ke depan pintu mereka. Nike melalui
NIKEiD adalah salah satu merek terkemuka pertama yang menawarkan kepada
pelanggan kemampuan untuk mendesain sendiri produk secara online. Perusahaan
seperti Stitchfix menggunakan campuran analytics
dan konsultan gaya yang sangat maju untuk menciptakan rekomendasi yang sangat
spesifik bagi konsumen mereka.
3.
Ekonomi layanan (Service
economy). Juga dikenal sebagai layanan "lakukan untuk saya".
Ini terjadi ketika konsumen mengalihkan pekerjaan rumah tangga berat kepada
orang lain. Go-Clean dari Go-Jek adalah salah satu contoh dari layanan ini.
Anda dapat memesan layanan cleaning service sesuai kebutuhan.
4.
Ekonomi Pengisian-ulang (Replenishment
economy). Pengisian otomatis terjadi ketika sensor cerdas mendeteksi kapan
produk barang konsumen hampir habis dan secara otomatis mengaturnya kembali
untuk segera melakukan pemesanan. Ini menghilangkan menit-menit terakhir
perjalanan ke toko untuk konsumen. Baru-baru ini Amazon memperkenalkan apa yang
mereka sebut sebagai Tombol Dash. Tombol Dash adalah tombol kecil dari perangkat
berkemampuan bluetooth bermerek, yang telah diatur untuk memesan produk
tertentu dari Amazon saat diaktifkan. Sebagai contoh, ketika Anda menempatkan
Tombol dash dari produk detergen, Anda tinggal menekan tombol tersebut untuk
segera dihubungkan dengan akun Anda di Amazon dan produk akan secara otomatis
dikirim ke rumah Anda.
Bersamaan dengan adanya harapan di seputar
biaya, pilihan, kenyamanan, dan pengalaman yang terus meningkat, konsumen akan
terus menantang industri untuk berevolusi dan berinovasi, mendorong pertumbuhan
besar dalam perdagangan digital. Untuk menangkap peluang di depan mereka,
peritel dan perusahaan barang konsumsi harus merespons dengan segera harapan
tersebut.
Artikel ini dimuat di Majalah Marketing edisi Mei 2018
References
[i] Pine, B., & Gilmore, J., (1999). The experience economy : Work is theatre & every business a stage.
Boston: Harvard Business School Press.
[ii] Pine, B., & Gilmore, J., (2014). A leader's guide to innovation
in the experience economy. Strategy &
Leadership, 42(1), 24-29.
[iii] Christensen, C., Hall, T., Dillon, K., & Duncan, D. (2016).
Know Your Customers' "Jobs to Be Done". Harvard Business Review, 1.
[iv] Wollan, R., & Donnelly, C. (2017). Retailers must embrace new
shopping experiences: Online disruptors and a new breed of digital consumer
mean its sink-or-swim time for traditional retailers and consumer goods
sellers. CRM Magazine, 21(8), 4-5.