Monday, August 13, 2018

Alternatif Inovasi Model Bisnis dalam Era Experience Economy


Gelombang pasang dari era digitalisasi telah menciptakan perairan berombak ganas bagi peritel tradisional dan perusahaan consumer goods pada umumnya. Sejalan dengan semakin berdayanya konsumen secara digital, permintaan akan pengalaman-pengalaman berbelanja (shopping experience; user experience) semakin tinggi. Konsumen menuntut adanya brand engagement, yang sekaligus berarti kemudahan cara dalam setiap pengalaman pembelian barang maupun jasa, di berbagai kanal distribusi. Industri B2C dipaksa untuk menjalani salah satu transformasi paling dinamis dalam sejarah mereka.
Tanda-tanda kekalahan sebagai akibat perusahan gagal menghadapi perubahan saat ini telah terlihat semakin nyata. Penutupan toko, pergeseran tenaga kerja, dan likuidasi telah menjadi hal yang biasa bagi peritel tradisional yang kandas mengikuti perkembangan digital. Dengan hadirnya para online disruptor yaang berhasil mencuri pangsa pasar, ditambah lagi dengan respon konsumen yang positif terhadap pilihan yang lebih besar, peritel dan perusahaan barang konsumen perlu memikirkan kembali secara fundamental tujuan mereka untuk memastikan relevansi di masa mendatang. Ini bukan krisis tradisional persaingan, pelaksanaan operasional, atau komunikasi; ini adalah sebuah masalah eksistensial. Mereka yang duduk diam pasti akan tertinggal.

Era Experience Economy
Seperti yang sudah diprediksikan oleh Pine dan Gilmore[i] dua dekade yang lalu, kita saat ini berada di masa yang mereka sebut sebagai experience economy. Experience economy merupakan suatu pergeseran dari ekonomi berdasarkan pada layanan konsumsi (consuming services) atau memiliki sesuatu (owning things), menjadi ekonomi yang didukung oleh investasi dalam pengalaman. Pergeseran ini sebagian besar terjadi berkat adanya kemajuan teknologi dan, tentu saja,  lahirnya generasi millennial.
Pada era ini, konsumen dan produsen digambarkan secara bersamaan menciptakan value berupa pengalaman. Berikut adalah lima peluang aktivitas penciptaan nilai (value-creating activities[ii]) yang sangat mungkin akan mendorong kemajuan lebih jauh dalam era experience economy yang dinamis:

  • Mempersonalisasikan barang (product customization).
  • Meningkatkan layanan.
  • Memberi harga untuk sebuah pengalaman.
  • Memadukan teknologi digital dengan realita.
  •  Pengalaman transformatif.

Consumer Journey
Experience economy sangat menitikberatkan pentingnya memahami perjalanan konsumen (consumer journey). Secara sederhana perjalan konsumen dapat dilustrsikan dalam proses pengambilan keputusan konsumen. Memahami bagaimana konsumen menggunakan internet adalah penting karena dalam proses pengambilan keputusannya, seringkali konsumen menkombinasikan "web rooming" (yaitu, kegiatan mengunjungi peritel setelah mereka mengumpulkan informasi dari internet yang cukup mengenai harga, kinerja dan kualitas online) dan "show rooming" (yaitu, kegiatan mengunjungi peritel terlebih dahulu sebelum mencari web untuk informasi tentang cara membeli produk secara online).
Penting untuk memahami perjalanan konsumen karena pemasar harus membuat keputusan yang tepat sesuai dengan perilaku pembelian yang berbeda-beda dari target pasar yang juga berbeda-beda. Kenyataannya, sulit bagi pemasar untuk mengidentifikasi perjalanan pembelian konsumen melalui metode penelitian tradisional yang ada, seperti survey misalnya. Hal ini karena konsumen saat ini memanfaatkan beragam titik kontak atau touchpoints (misal: situs web, smartphone, media sosial, dll.) dalam pencarian informasi online mereka. Hampir tidak mungkin memahami perilaku online konsumen dengan akurat jika kita hanya bergantung pada ingatan responden saja, seperti yang terjadi pada survey tradisional. Selain itu, kemudahan perjalanan antara titik sentuh digital dan kunjungan singkat di setiap titik sentuh memperkuat "pemikiran dekat-konteks" konsumen.
Di sini lah manfaatnya sebuah bisnis memiliki consumer innovator, yaitu konsumen yang tinggi tingkat engagement dan loyalitasnya. Mereka bisa menjadi sumber informasi mengenai berbagai ragam perjalanan konsumen. Mereka paham betul seluk beluk layanan yang kita tawarkan.

Inovasi Model Bisnis
Peritel tradisional dan perusahaan barang konsumen yang lambat menanggapi realita ini dapat menghirup kembali kehidupan baru ke dalam organisasi mereka dengan cara membayangkan kembali bagaimana mereka melayani pelanggan. Apabila kita mau melihat ke belakang dan memperhatikan bagaimana perusahaan-perusahaan tradisional besar kandas, mereka ternyata gagal memahami perilaku konsumennya. Mereka mengerjakan pekerjaan rumah yang salah. Apa yang seharusnya benar-benar mereka lakukan adalah mengetahui apa yang diharapkan untuk dicapai oleh pelanggan. Inilah yang kerap dikatakan oleh para pakar sebagai job to be done[iii].
Berkat revolusi data yang besar, perusahaan kini dapat mengumpulkan variasi dan volume informasi pelanggan yang luar biasa, tentunya dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan pada saat yang bersamaan melakukan analisis canggih terhadapnya. Banyak perusahaan telah menetapkan proses inovasi yang terstruktur dan berdisiplin serta membawa talenta yang sangat terampil untuk menjalankannya. Sebagian besar perusahaan menghitung dengan hati-hati dan mengurangi risiko inovasi. Dari luar, tampak seolah-olah perusahaan telah menguasai proses ilmiah yang tepat. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka belum mampu menjalankan disiplin tersebut.
Untuk mencapai tahap yang lebih maju dari perdagangan digital dan untuk tetap selalu berkembang di dekade berikutnya, peritel dan perusahaan barang konsumen harus secara agresif mengejar inovasi dan bersedia untuk merombak diri mereka sendiri. Empat model bisnis[iv] berikut memiliki potensi terkuat untuk mengubah perdagangan digital:
1.      Ekonomi berbagi (Sharing economy). Ini pada dasarnya adalah pasar sewa/rental generasi kini yang memungkinkan konsumen mengkonsumsi produk tanpa kepemilikan langsung. Tokorental.com, sevva.co, dan babyloania.com adalah beberapa contoh layanan yang telah hadir di tengah masyarakat.
2.      Ekonomi Personalisasi (Personalization economy). Di sini para pakar merancang produk yang disesuaikan untuk individu dan secara otomatis mengantarkannya ke depan pintu mereka. Nike melalui NIKEiD adalah salah satu merek terkemuka pertama yang menawarkan kepada pelanggan kemampuan untuk mendesain sendiri produk secara online. Perusahaan seperti Stitchfix menggunakan campuran analytics dan konsultan gaya yang sangat maju untuk menciptakan rekomendasi yang sangat spesifik bagi konsumen mereka.
3.      Ekonomi layanan (Service economy). Juga dikenal sebagai layanan "lakukan untuk saya". Ini terjadi ketika konsumen mengalihkan pekerjaan rumah tangga berat kepada orang lain. Go-Clean dari Go-Jek adalah salah satu contoh dari layanan ini. Anda dapat memesan layanan cleaning service sesuai kebutuhan.
4.      Ekonomi Pengisian-ulang (Replenishment economy). Pengisian otomatis terjadi ketika sensor cerdas mendeteksi kapan produk barang konsumen hampir habis dan secara otomatis mengaturnya kembali untuk segera melakukan pemesanan. Ini menghilangkan menit-menit terakhir perjalanan ke toko untuk konsumen. Baru-baru ini Amazon memperkenalkan apa yang mereka sebut sebagai Tombol Dash. Tombol Dash adalah tombol kecil dari perangkat berkemampuan bluetooth bermerek, yang telah diatur untuk memesan produk tertentu dari Amazon saat diaktifkan. Sebagai contoh, ketika Anda menempatkan Tombol dash dari produk detergen, Anda tinggal menekan tombol tersebut untuk segera dihubungkan dengan akun Anda di Amazon dan produk akan secara otomatis dikirim ke rumah Anda.
Bersamaan dengan adanya harapan di seputar biaya, pilihan, kenyamanan, dan pengalaman yang terus meningkat, konsumen akan terus menantang industri untuk berevolusi dan berinovasi, mendorong pertumbuhan besar dalam perdagangan digital. Untuk menangkap peluang di depan mereka, peritel dan perusahaan barang konsumsi harus merespons dengan segera harapan tersebut.

Artikel ini dimuat di Majalah Marketing edisi Mei 2018

References


[i] Pine, B., & Gilmore, J., (1999). The experience economy : Work is theatre & every business a stage. Boston: Harvard Business School Press.
[ii] Pine, B., & Gilmore, J., (2014). A leader's guide to innovation in the experience economy. Strategy & Leadership, 42(1), 24-29.
[iii] Christensen, C., Hall, T., Dillon, K., & Duncan, D. (2016). Know Your Customers' "Jobs to Be Done". Harvard Business Review, 1.
[iv] Wollan, R., & Donnelly, C. (2017). Retailers must embrace new shopping experiences: Online disruptors and a new breed of digital consumer mean its sink-or-swim time for traditional retailers and consumer goods sellers. CRM Magazine, 21(8), 4-5.