Thursday, January 31, 2019

Illusions & Biases

We are born with #illusions and growing up with #bias. Even when we are confident about our intelligence and our deliberate #decision, we cannot avoid the fact that we make a lot of mistakes throughout our lives caused by illusions and biases. Well, we have to admit that it is very difficult to find illusions and biases in ourselves, since it often comes from our subconscious thinking.
If you are a business start up, take illusions and bias seriously. You should be aware of overconfidence, illusions of control, and belief in the law of small number. According to Simon, Houghton and Aquinoc in their paper, #entrepreneurs are more likely to show excessive illusions and biases. They can fail to find the limits of their knowledge, so they assume less risk. Some succeeded in their efforts, but many failed miserably.
And here is to add to another problem, we go through our daily lives in controlled hallucinations (I borrow this term from Anil Seth) or we would rather call it consciousness. Consciousness can be interpreted as an algorithm – a series of logical cause-and-effect statements. We are actually in a constant hallucination, we seldom interpret reality wrongly.
So if you think that you are always right on every decision you make, think again! Be cautious, be humble my friend.
Simon, Houghton and Aquinoc (2000) https://www.sciencedirect.com/…/artic…/pii/S0883902698000032
Anil Seth (2018) Perception as a controlled hallucination http://www.anilseth.com/podcasts-and-interviews

FLOW

Banyak orang sepakat bahwa kecukupan materi penting untuk mencapai kebahagiaan dan pastinya, semua akan sepakat untuk tidak sepakat perihal arti cukup itu sendiri. Kurangnya materi berkorelasi positif dengan ketidakbahagiaan. Patut diduga hal ini berlaku pula pada peningkatan materi. Peningkatan materi disinyalir juga tidak meningkatkan kebahagian seseorang. Sebuah studi berdasarkan survei Gallup World Poll di 164 negara, menunjukkan bahwa ada titik jenuh di mana pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi tidak menghasilkan kebahagiaan lagi.

Telah banyak studi dilakukan untuk menelaah kebahagiaan. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Mihaly Csíkszentmihályi. Mihaly menemukan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan sejati selama dalam kondisi kesadaran yang ia sebut “Flow”. Mihaly menegaskan: The best moments in our lives are not the passive, receptive, relaxing times. The best moments usually occur if a person’s body or mind is stretched to its limits in a voluntary effort to accomplish something difficult and worthwhile.

Omong-omong soal bahagia, dalam dunia bisnis, di era experience economy ini kebahagiaan pelanggan dilihat sebagai bisnis multi-miliar. Membahagiakan pelanggan menjadi prioritas utama mengingat kebahagiaan pelanggan berarti revenue bagi bisnis. “Jangan hanya memuaskan pelanggan Anda — delight them... Siapa pun yang memiliki pelanggan yang bahagia cenderung memiliki masa depan yang cukup baik” ujar Warren Buffett. Dalam dunia bisnis, Flow adalah “The Ultimate Purpose of Customer Experience”. Kita berharap pelanggan terhanyut dalam perjalanan yang menantang dan menyenangkan saat mereka mengonsumsi layanan kita.

Beberapa brand hebat berfokus pada apa yang apa yang dapat men-”drives” pelanggan. Usaha-usaha mereka tidak ditujukan pada “sale” semata. Intensi mereka adalah menawarkan jawaban bagi pelanggan dalam memenuhi kebutuhannya (need). Dus, pemasaran mereka tidak hanya memberikan narasi akan cerita yang baik (good story), lebih jauh mereka memberikan nilai (value) melalui “Flow”.

Tantangan brand saat ini adalah bagaimana caranya membuat pelanggan mengalami apa yang disebut Mihaly sebagai Flow. Untuk itu brand perlu mendesain perjalanan pelanggan sebaik mungkin dan menjaga setiap touchpoints agar dapat memberikan hanya pengalaman yang “delighted”.

Begitu pula sebaiknya dengan hidup kita. Dalam mencapai kebahagiaan, temukan aktivitas yang memberikan “Flow”. Find your flow and Just go with the flow!

Happy New Year 2019

Ketika kita berbicara tentang kebahagiaan, kita tahu bahwa kebahagiaan datang dari berbagai sumber, tergantung dari sudut pandang seseorang. Kita tidak tahu betapa bahagianya kita karena kebahagiaan itu begitu relatif. Dalam mencerna kebahagiaan, proses kognitif lah yang paling bertanggung jawab. Kahneman, sang pemenang nobel, telah menunjukkan bagaimana otak kita dirancang sedemikian rupa sehingga kita memiliki dua mental operating system; diri yang mengalami (experiencing self) dan diri yang mengingat (remembering self/narrative self). The experience self remembers nothing, tells no stories! Hanya narrative self yang dapat menyimpan kenangan (memory). “Narrative is stitched intrinsically into the fabric of human psychology” katanya. Kebahagiaan tergantung pada dua sistem tersebut. Kita mengalami momen kebahagiaan dan kita bisa merekayasa kebahagian melalui narasi.
Namun tidak seperti kebanyakan cerita yang kita dengar, hidup kita tidak melulu mengikuti lika-liku yang telah ditentukan. Identitas dan pengalaman kita terus berubah, dan hanya dengan bercerita kita dapat memahaminya. Dengan mengambil bagian-bagian berbeda dari hidup kita dan menempatkannya bersama dalam sebuah narasi, kita menciptakan keseluruhan yang menyatukan yang memungkinkan kita untuk memahami hidup kita secara koheren - dan koherensi adalah sumber kunci makna (Associative Network of Knowledge).
Narrative self adalah pendongeng sejati. Dia pula yang dapat menentukan tindakan kita ketika kita memikirkan masa depan sebagai ingatan yang diantisipasi (anticipated memory). Kita semua adalah pendongeng dan terlibat dalam tindakan penciptaan komposisi hidup kita.
Untuk tahun 2018, simpanlah hanya memori yang indah, menyenangkan dan membahagiakan dalam cerita kita. Sekarang, untuk 2019, What is your anticipated memory? what is your story? Happy New Year Folks!