Tuesday, December 23, 2014

Marketer sebagai Follower (Full Article)

Saat ini kita masih berada dalam fase perkembangan teknologi informasi yang menakjubkan. Dalam dunia komunikasi bisnis, kita mengalami apa yang dikatakan sebagai revolusi horizontal, yaitu revolusi yang terjadi karena informasi mengalir berkelintaran di antara orang per orang dan  bukan lagi didominasi oleh informasi yang berasal dari perusahaan ke perorangan.

Kontan. Senin 15 Desember 2014Kontan. Senin 15 Desember 2014

Menilik kembali saat ketika teknologi informasi belum begitu canggih seperti saat ini, informasi sebuah produk didapatkan oleh konsumen melalui cara-cara pemasaran konservatif. Cara-cara promosi off-line seperti iklan, personal selling atau public relationssangat ampuh dalam mengkomunikasikan manfaat (value) sebuah produk atau jasa kepada segmen pasar yang ditujunya. Biasanya perusahaan mencoba untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai macam kanal komunikasi tersebut untuk menyampaikan pesan-pesan yang mereka inginkan kepada konsumen untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Tentunya saat ini cara pemasaran konservatif dan media tradisional masih memiliki peran yang sangat penting walaupun pada saat bersamaan, terjadi gejala penurunan kepercayaan pelanggan yang cukup signifikan. Pada tahun 2012, Nielsen’s Global Trust in Advertising Survey  dalam Global Consumers' Trust In 'Earned' Advertising Grows In Importance, mengungkapkan bahwa dari 28.000 responden pengguna internet di 56 negara memperlihatkan hampir setengah (47%) dari responden tersebut mengatakan bahwa tingkat kepercayaan mereka terhadap televisi, iklan majalah dan koran menurun. Lebih jauh, penurunan tersebut sebanyak 24%, 20% dan 25% secara berturut-turut sejak 2009.

Earned dan Owned Media
Sejalan dengan semakin majunya teknologi informasi dan adaptasi yang semakin baik oleh konsumen, kini teknologi informasi menawarkan berbagai macam alternatif media untuk bersosialisasi. Teknologi media sosial mewujud dalam bentuk majalah, microblogging(seperti twitter, tumblr), forum-forum internet (seperti kaskus.co.id), weblogs, foto dan gambar (seperti Instagram), social networks (seperti Facebook, Path, LinkedIn), rating, dan social bookmarking (seperti Pinterest). Kemajuan teknologi-teknologi  inilah yang menjadikan penyebaran penggunaan media sosial menjadi semakin luas. Kondisi ini memungkinkan terjadinya interaksi antar pengguna baik secara real time, maupun tidak (atau dengan kata lain, tidak mengharuskan pengguna untuk juga merespon secepatnya). Bentuk-bentuk sosial media tersebut secara sederhana juga dapat dilihat melalui dua perspektif besar; earned dan owned media.

Secara tradisional, earned media adalah istilah yang diberikan untuk publisitas yang dilakukan oleh Public Relations dengan menggunakan target influencer guna meningkatkanbrand awareness. Pada saat ini earned media mengalami modifikasi medium sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi. Sebagai contoh: earned media berupaword-of-mouth (WOM). Word-of-mouth dapat dirangsang melalui viral marketing pada media sosial yang mencakup pula percakapan di jaringan sosial, blog dan komunitas lainnya. Hasil modifikasi earned media ini, walaupun relatif baru, memiliki peran yang sangat menjajikan bagi komunikasi dua arah antara pemasar dan konsumen.

Pada saat yang bersamaan, owned media sebagai media yang dimiliki oleh perusahaan juga harus dikelola secara serius. Owned media dapat berupa situs resmi perusahaan, blog, aplikasi mobile atau dapat juga berupa kehadiran sosial perusahaan secara resmi di Facebook, Linked In atau Twitter. Patut untuk menjadi perhatian bahwa banyak perusahaan yang belum mengelola website mereka dengan serius. Forrester Research, perusahaan penyedia jasa riset pasar, dalam laporannya pada tahun 2012 yang berjudul Lessons Learned From 1,500 Website User Experience Reviews, mereka menyatakan bahwa hanya 3% (45 perusahaan) dari 1500 perusaahaan yang diteliti mendapatkanpassing score (angka kelulusan) untuk penilaian dari segi user experience.  User experience sendiri didefinisikan sebagai pengalaman pengguna secara menyeluruh dalam menggunakan sebuah produk seperti website atau aplikasi komputer, terutama dalam hal kemudahan dan kenyamanan penggunaan. Ini merupakan bukti bahwa banyak sekali perusahaan yang tidak mengangap penting keberadaan owned media mereka.

Padahal apabila kita sadari, komentar dan rating pengguna (user rating) pada kontenowned media atau media online lainnya adalah opini publik yang bersifat user-generatedyang sangat kuat dan berpengaruh pada konsumen. Pada prakteknya, opini pelanggan muncul ketika pengguna diberi fasilitas untuk mengekspresikan dan membagikan kesan-kesan yang mereka peroleh kepada pengguna yang lain. Pada saat yang bersamaan, banyak pengguna mencoba mencari informasi yang tidak bias dan tidak berasal dari perusahaan maupun pesaing untuk membantu mereka dalam proses pengambilan keputusannya. Sementara itu, banyak penelitian yang mengatakan bahwa earned media, dalam hal ini komunikasi online yang berupa word-of-mouth mengenai opini dan ulasan produk, merupakan informasi yang paling berpengaruh bagi pengambilan keputusan konsumen. Tentunya perlu disadari bahwa tidak semua rating dan ulasan online merupakan user-generated. Beberapa perusahaan menggunakan pakar sebagai kontributor; sebagai contoh Rotten Tomatoes (www.rottentomatoes.com) yang menggunakan para pakar dan profesional  untuk mengulas film dan DVD yang baru dikeluarkan. Walaupun demikian, mereka tetap menyadari pentingnya suara pengguna sehingga mereka tetap memberikan tempat bagi penilaian oleh pengguna.

Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketika kita berbicara mengenai penilaian dan ulasan, opini pakar dan profesional berperan sebagai pelengkap dari opini pengguna biasa. Saat ini konsumen lebih mempercayai informasi yang berasal dari sesama pengguna online dibandingkan dengan televisi, amajalah, radio atau juga dari iklan di internet dan bahkan rekomendasi dari salesperson dan paid endorser sekalipun. Menurut survey yang dipublikasikan oleh Dimensional Research (2013), 90% pelanggan mengatakan bahwa keputusan membeli mereka dipengaruhi oleh ulasan online. Di sini lah pentingnya maksimalisasi earned dan owned media

Partisipasi Konsumen Semakin Dominan
Sangat jelas terasa bahwa perkembangan teknologi informasi telah merubah banyak hal, termasuk di dalamnya bagaimana cara konsumen mendapatkan informasi. Dulu, komunikasi pemasaran cenderung satu arah dan didominasi oleh perusahaan. Saat itu, partisipasi konsumen pun masih rendah sehingga praktis informasi menjadi tidak berimbang. Sebagai alternatifnya, konsumen sangat mengandalkan word-of-mouth dari kerabat dekat atau teman sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke gerai guna mendapatkan informasi yang lebih banyak dan akurat. Sayangnya, saat ini, hal tersebut sudah tidak relevan lagi.

Perkembangan teknologi informasi telah meningkatkan kesadaran konsumen akan kebutuhan informasi yang cepat dan akurat. Dengan semakin terintegrasinya teknologi komunikasi, informasi yang didapatkan oleh konsumen adalah informasi real time. Hampir tidak ada jeda. Kebutuhan konsumen akan informasi akurat secara signifikan akhirnya mempengaruhi perilaku konsumen dalam mencari informasi. Konsumen semakin proaktif dalam mencari informasi.

Perlu juga dipahami bahwa manusia adalah makhluk sosial yang suka berbagi informasi, baik dengan tujuan positif maupun negatif. Hasrat manusia untuk berbagi informasi juga terakomodasi dengan baik oleh perkembangan teknologi informasi. Media sosial kemudian menjadi tempat yang tepat bagi pertemuan antara pencari dan pemberi informasi.

Data-data berikut mendukung adanya perubahan perubahan perilaku konsumen dalam mendapatkan informasi. Nielsen’s Global Trust in Advertising Survey  melaporkan bahwa 92% konsumen di seluruh dunia mengatakan bahwa mereka mempercayai earend media. Masih dalam laporan yang sama, 70% (kenaikan sebesar 15% dalam 4 tahun) responden  menyatakan bahwa ulasan (review) konsumen online adalah salah satu platform terpercaya. Diperkuat oleh survey yang dilakukan oleh Google pada tahun 2011 yang menemukan bahwa rata-rata kensumen berkonsultasi ke 10,4 sumber-sumber informasi (mengalami kenaikan hampir dua kali sejak tahun 2010) sebelum melakuan pembelian.

Konsumen Semakin “Demanding”  dan Mendikte Product Development
Dengan kecenderungan peningkatan  pencarian informasi melalui media sosial oleh konsumen, tantangan baru pun muncul. Tantangan itu adalah kenyataan bahwa saat ini konsumen jauh lebih percaya pada sumber-sumber yang berasal dari sesama konsumen daripada iklan-iklan tradisional. Komunitas virtual konsumen kemudian berperan sebagai penyangga sosial (social support) yang dijadikan konsumen sebagai tolok ukur dalam pengambilan keputusan. Di zaman sekarang, ketika seorang konsumen mempertimbangkan restoran yang tepat untuk mengundang koleganya makan malam, ia akan merujuk pada ulasan online kuliner seperti yukmakan.comopenrice.com, dan semacamnya.

Sinan Aral dan Dylan Walker dalam artikelnya yang dimuat di Managament Science dengan judul Creating Social Contagion Through Viral Product Design: A Randomized Trial of Peer Influence in Networks menyatakan bahwa efek ulasan online bersifat menular. Ketika suatu obyek mendapat rating tinggi dari mayoritas online reviewer, kita pun tertular oleh hawa ulasan positif tersebut sampai-sampai kita ikut menyukai obyek tersebut dan cenderung untuk memberi penilaian yang tinggi pula. Begitu pula yang terjadi sebaliknya ketika ulasan online bersifat negatif. Kecenderungan peningkatan partisipasi ini dibarengi pula dengan peningkatan ekspektasi konsumen. Peningkatan ekspektasi ini harus dapat dikelola dengan baik oleh pemasar dan perusahaan.

Konsekuensi logis lain dari komunikasi interaktif antara konsumen pencari informasi dan pembagi informasi salah satunya adalah konsumen menjadi semakin terdidik. Mungkin suatu perusahaan bisa saja berpikir untuk menyewa komentator bayaran yang tugasnya adalah berpura-pura sebagai konsumen puas yang menyanjung dan membanggakan produk atau jasa perusahaan di dunia virtual. Dalam pikiran perusahaan tersebut, 'tokh ini dunia virtual; tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pemiliki akun penyanjung produk tersebut'. Walaupun terdengar menggiurkan, cara kotor ini akan mematikan perusahaan dalam jangka panjang karena konsumen yang telah semakin cerdas mampu mendeteksi mana kebenaran dan kebohongan virtual.

Pada suatu saatnya nanti, konsumen yang cerdas dan terdidik ini kemudian mengajukan banyak tuntutan dan akhirnya mendikte pengembangan produk perusahaan. Melalui kemampuannya untuk memberikan penilaian langsung terhadap suatu produk atau jasa di ranah publik, berbagi penilaian dan pengalaman dengan konsumen lain, serta menyampaikan masukan langsung kepada perusahaan, konsumen akhirnya memiliki kekuatan untuk menuntut perusahaan merespon perubahan selera konsumen.

Menjadi Follower
Lantas, apa yang harus dilakukan marketer di zaman berkuasanya media sosial seperti saat ini? Salah satunya adalah menjadi follower. Dengan menjadi follower, marketer dapat menerima feedback langsung dari user di dunia maya. Komentar-komentar pengguna di sosial media merupakan informasi yang sangat berharga yang sekaligus merupakan salah satu sumber dalam memahami konsumen. Marketer harus mampu memanfaatkan sumber-sumber yang mengandung informasi tersebut sehingga dapat menjadi pelengkap bagi riset perilaku konsumen yang telah kita lakukan selama ini.

Word-of-mouth telah seringkali dipandang lebih dipercaya daripada berita satu arah dari marketer. Hal ini jelas karena word-of-mouth datang dari konsumen dan disebarkan untuk konsumen pula, sehingga marketer kurang mempunyai kendali atas berita yang beredar melalui word-of-mouth.  Di media sosial, suatu berita menyebar bisa menyebar dalam bentuk tagar (hashtags), mentiononline review, rating, dan sebagainya, sehingga bisa kita anggap bentuk-bentuk tersebut adalah proxy terdekat word-of-mouth

Perlu diiingat bahwa karakter perilaku konsumen dalam penggunaan media sosial di Asia jauh berbeda dengan konsumen di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Kultur masyarakat Asia yang sangat kuat karakter kekelompokannya (groupism). Karakter kekelompokan ini memicu kecenderungan konsumen Asia untuk membandingkan dirinya dengan lingkungan sosial di sekitarnya (social comparison) dan mematuhi norma sosial (social conformance) yang berlaku. Hal inilah yang disinyalir sebagai penyebab tingginya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat Asia. Kebalikan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, word-of-mouth di pasar konsumen Asia justru lebih banyak terjadi di dunia maya, yang melibatkan percakapan dengan orang-orang yang, bahkan, bukan orang terdekat sekalipun. Oleh karena itu, meskipun pendekatan marketer sebagai follower bisa berlaku di mana pun,  pendekatan ini memiliki tingkat prioritas kepentingan yang lebih tinggi dalam menghadapi pasar konsumen di Asia.

Beberapa tahap yang sebaiknya menjadi perhatian dalam menerapkan pendekatanmarketer sebagai follower adalah sebagai berikut:
  1. Mengidentifikasi dan memilih media sosial yang tepat, baik itu sosial media yang resmi dikelola oleh perusahaan (seperti Facebook atau Twitter resmi perusahaan), maupun forum-forum ataupun blog yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan (seperti forum konsumen atau blog pemerhati bidang usaha tertentu). Perusahaan sebaiknya memilih media yang paling populer, dilihat dari jumlah penguna atau hits(seberapa sering dikunjungi oleh pengguna internet)
  2. Menginventarisir issue. Begitu banyak issue yang dikomentari dan didiskusikan pengguna. Dengan menggunakan teknik analisa coding, kita dapat menangkap issue-issue yang hangat dibicarakan dan melakukan kategorisasi dan berdasarkan topik-topik. Topik-topik ini dapat kita kelompokkan berdasarkan derajat frekuensi pembicaraan dan relevansi dengan value perusahaan.
  3. Pilih topik yang tepat. Cari topik yang paling banyak didiskusikan dan juga tentunya relevan dengan value yang diawarkan perusahaan.
  4. Mengidentifikasi opinion leader. Pada saat kita meninvertarisir issue, kita dapat melihat mengidentifikasi opinion leader yang aktif mengusung issue tersebut. Opinion leader ini bukan saja mereka yang memunculkan issue pertama kali tetapi juga mereka yang secara konsisten mengangkat issue tersebut ke permukaan.
  5. Ikuti opinion leader. Dengan menjadi teman atau follower, kita dapat menggali banyak informasi yang ingin mereka sampaikan. Opion leader dapat berperan sebagai narasumber atau juga responden dalam riset perilaku konsumen kita. Kita dapat menggali informasi-informasi penting yang dapat menjadi input baik itu untuk perbaikan fitur layanan dan produk atau bahkan membuka peluang untuk menciptakan layanan dan produk baru.
References
Aral S., Walker D. (2011) Creating social contagion through viral product design: A randomized trial of peer influence in networks. Management Sci. 57(9):1623–1639

Budovsky, A. Drego, Vidya L., Peterson J., & Bocal, B. (2012). Lessons learned from 1,500 website user experience reviews. Forrester Research

Dimensional Reasearch (2013). Customer service and business results: A survey of customer service from mid-size companies. Dimensional Reasearch. Retrieved fromhttps://d16cvnquvjw7pr.cloudfront.net/resources/whitepapers/Zendesk_WP_Customer_Service_and_Business_Results.pdf

Nielsen’s global trust in advertising survey (2012). Global consumers' trust in 'earned' advertising grows in importance. Nielsen. Retrived fromhttp://www.nielsen.com/us/en/press-room/2012/nielsen-global-consumers-trust-in-earned-advertising-grows.html

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Salah Paham?

Berdasarkan penjelasan atas UU No. 40 tahun 2007, tanggung jawab sosial dan lingkungan didefinisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Koran Tempo. Kamis 16 Mei 2013
Harvard Kennedy School mengeluarkan definisi yang kredibel dan lengkap yang melihat CSR sebagai suatu strategi. CSR menurut mereka tidak hanya meliputi apa yang dilakukan perusahaan dengan keuntungan mereka, tetapi juga bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan. CSR mencakup lebih dari sekedar kedermawanan dan kepatuhan. Pada saat yang bersamaan, CSR dipandang sebagai suatu cara untuk membantu perusahaan mengelola dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan, beserta hubungan perusahaan dengan lingkungan kerja, pasar, supply chain, komunitas, dan domain kebijakan publik. Dalam pemahaman mereka, CSR tertanam dalam keseluruhan aktivitas bisnis, membentang dari hulu hingga hilir. CSR bukan suatu departemen apalagi sekedar aktifitas bersolek (window-dressing) atas kegiatan buruk perusahaan.  Seperti strategi perusahaan di bidang pemasaran, keuangan dan sumberdaya manusia, perusahaan membutuhkan strategi CSR yang tepat untuk menjalankan usahanya.

Pada tahun 2008, di dalam artikel yang dipublikasikan oleh Journal of Corporate Social Responsibility and Environmental Management, Alexander Dahlsrud menganalisa 37 definisi CSR oleh berbagai macam kalangan (akademisi, pemerintah, dan LSM) di seluruh dunia. Ia menemukan adanya kekongruenan di antara definisi-definisi tersebut. Dengan metode content analysis, ia berhasil mengidentifikasi 5 dimensi dari definisi CSR, yaitu: kesukarelaan (voluntariness), stakeholder, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kesukarelaanmerupakan bukti bahwa CSR bukanlah suatu aktivitas yang bersifat wajib.

Salah kaprah?

Apabila kita merujuk pada definisi Harvard dan temuan Dahlsrud di atas, tidak ada kewajiban dan batasan terhadap siapa yang harus melaksanakan CSR; artinya, CSR dapat dilakukan oleh perusahaan dengan bidang usaha apapun. Hal ini berbeda dengan bunyi pasal 74 ayat 1 UU No. 40 tahun 2007 yang mengatakan bahwa hanya perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang wajib melaksanakan CSR. Dengan pemahaman seperti ini seakan-akan hanya perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam saja yang mampu melakukan kegiatan negatif dan berpotensi untuk tidak bertanggungjawab secara sosial. Bagaimana dengan perusahaan sepatu yang mengupah karyawannya di bawah UMR, perusahaan manufaktur yang membuang limbahnya ke sungai, dan tentu saja, bagaimana dengan perusahaan rokok yang produknya terbukti berkontribusi positif terhadap meningkatnya kasus kanker? Apakah mereka tidak wajib untuk menjalankan CSR?

Dalam setiap pelaporan, audit merupakan komponen terpenting. Sebelum dipubikasikan, laporan CSR harus diaudit dan diverifikasi. Tanpa audit, laporan tersebut hanyalah klaim sepihak dari pihak perusahaan. Itu sama halnya seperti kita bercermin dan memuji kecantikan diri sendiri tanpa konfirmasi pendapat dari orang lain. Harus ada lembaga atau pihak ketiga yang kredibel untuk melakukan audit dan menilai akuntabilitas CSR. Pelaporan kegiatan CSR yang diatur pada pasal 6 PP No. 47 tahun 2012 menyatakan bahwa pelaksanaan CSR dimuat dalam laporan tahunan perusahaan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Tentu saja, RUPS adalah rapat umum yang dihadiri oleh pihak-pihak yang memiliki saham dalam perusahaan sehingga tidak merefleksikan kepentingan stakeholders. Dengan demikian, lantas bagaimana pemerintah dapat menilai apabila terjadi pelanggaran?  Oleh karena itu, sebelum dipubikasikan, laporan CSR harus diaudit dan diverifikasi. PP ini luput mencantumkan audit dalam pelaporan CSR.

Pasal 5 huruf b UU No.25 Tahun 2007 tentang penanaman modal mewajibkan setiap penanam modal untuk melakukan CSR. Menurut pasal 5 angka 1 PP No.47 tahun 2012, CSR diperhitungkan sebagai biaya. Tampaknya ada ketidaksesuaian antara kedua butir tersebut. Dalam bisnis, biaya diperhitungkan dalam satu periode tertentu sehingga sifatnya jangka pendek. Sementara aktivitas penanaman modal, seperti juga CSR, sifatnya jangka panjang. Undang-undang ini menurunkan daya saing Indonesia di mata penanam modal asing. Belum juga usaha dijalankan dan keuntungan didapat,  tetapi  sudah ada beban biaya wajib tambahan. Alih-alih meningkatkan aktifitas CSR, aturan ini malah berpotensi membuat iklim investasi menjadi tidak menarik.

Regulasi non CSR

Adopsi CSR  oleh dunia usaha di Indonesia perlu didukung dengan regulasi non CSR yang lebih baik yang meliputi unsur serta prinsip pelaksanaan CSR yang sebenarnya. Undang-undang yang mewajibkan CSR tidak diperlukan apabila peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan dunia usaha terperinci dengan jelas. Undang-undang mengenai dampak lingkungan, ketenagakerjaan, kesetaraan gender dalam pekerjaan, pengupahan, persaingan usaha dan perlindungan konsumen misalnya, perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya.

Dengan merinci regulasi yang berkaitan dengan dunia usaha, CSR dapat dilakukan tanpa paksaan sehingga dapat tercapai dua hal sekaligus: (1) terciptanya lingkungan bisnis yang sehat dengan aturan yang jelas, dan (2) terciptanya peluang bagi perusahaan untuk menjalankan CSR tanpa paksaan.

Setelah paparan di atas, tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa CSR bukan sekedar aktifitas pemoles kegiatan yang membawa dampak negatif secara sosial. Regulasi yang mengatur CSR di Indoensia, bukan saja diskriminatif, tetapi juga rancu dan sarat dengan kepentingan penguasa. Di seluruh dunia, hanya Indonesia satu-satunya negara yang mewajibkan CSR melalui Undang-undang. Ironisnya, secara substansi regulasi tersebut  berbeda dengan definisi dan pemahaman yang berlaku umum di dunia. Kalau sudah seperti ini, siapa yang salah paham?

------------------