Tuesday, December 23, 2014

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Salah Paham?

Berdasarkan penjelasan atas UU No. 40 tahun 2007, tanggung jawab sosial dan lingkungan didefinisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Koran Tempo. Kamis 16 Mei 2013
Harvard Kennedy School mengeluarkan definisi yang kredibel dan lengkap yang melihat CSR sebagai suatu strategi. CSR menurut mereka tidak hanya meliputi apa yang dilakukan perusahaan dengan keuntungan mereka, tetapi juga bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan. CSR mencakup lebih dari sekedar kedermawanan dan kepatuhan. Pada saat yang bersamaan, CSR dipandang sebagai suatu cara untuk membantu perusahaan mengelola dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan, beserta hubungan perusahaan dengan lingkungan kerja, pasar, supply chain, komunitas, dan domain kebijakan publik. Dalam pemahaman mereka, CSR tertanam dalam keseluruhan aktivitas bisnis, membentang dari hulu hingga hilir. CSR bukan suatu departemen apalagi sekedar aktifitas bersolek (window-dressing) atas kegiatan buruk perusahaan.  Seperti strategi perusahaan di bidang pemasaran, keuangan dan sumberdaya manusia, perusahaan membutuhkan strategi CSR yang tepat untuk menjalankan usahanya.

Pada tahun 2008, di dalam artikel yang dipublikasikan oleh Journal of Corporate Social Responsibility and Environmental Management, Alexander Dahlsrud menganalisa 37 definisi CSR oleh berbagai macam kalangan (akademisi, pemerintah, dan LSM) di seluruh dunia. Ia menemukan adanya kekongruenan di antara definisi-definisi tersebut. Dengan metode content analysis, ia berhasil mengidentifikasi 5 dimensi dari definisi CSR, yaitu: kesukarelaan (voluntariness), stakeholder, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kesukarelaanmerupakan bukti bahwa CSR bukanlah suatu aktivitas yang bersifat wajib.

Salah kaprah?

Apabila kita merujuk pada definisi Harvard dan temuan Dahlsrud di atas, tidak ada kewajiban dan batasan terhadap siapa yang harus melaksanakan CSR; artinya, CSR dapat dilakukan oleh perusahaan dengan bidang usaha apapun. Hal ini berbeda dengan bunyi pasal 74 ayat 1 UU No. 40 tahun 2007 yang mengatakan bahwa hanya perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang wajib melaksanakan CSR. Dengan pemahaman seperti ini seakan-akan hanya perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam saja yang mampu melakukan kegiatan negatif dan berpotensi untuk tidak bertanggungjawab secara sosial. Bagaimana dengan perusahaan sepatu yang mengupah karyawannya di bawah UMR, perusahaan manufaktur yang membuang limbahnya ke sungai, dan tentu saja, bagaimana dengan perusahaan rokok yang produknya terbukti berkontribusi positif terhadap meningkatnya kasus kanker? Apakah mereka tidak wajib untuk menjalankan CSR?

Dalam setiap pelaporan, audit merupakan komponen terpenting. Sebelum dipubikasikan, laporan CSR harus diaudit dan diverifikasi. Tanpa audit, laporan tersebut hanyalah klaim sepihak dari pihak perusahaan. Itu sama halnya seperti kita bercermin dan memuji kecantikan diri sendiri tanpa konfirmasi pendapat dari orang lain. Harus ada lembaga atau pihak ketiga yang kredibel untuk melakukan audit dan menilai akuntabilitas CSR. Pelaporan kegiatan CSR yang diatur pada pasal 6 PP No. 47 tahun 2012 menyatakan bahwa pelaksanaan CSR dimuat dalam laporan tahunan perusahaan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Tentu saja, RUPS adalah rapat umum yang dihadiri oleh pihak-pihak yang memiliki saham dalam perusahaan sehingga tidak merefleksikan kepentingan stakeholders. Dengan demikian, lantas bagaimana pemerintah dapat menilai apabila terjadi pelanggaran?  Oleh karena itu, sebelum dipubikasikan, laporan CSR harus diaudit dan diverifikasi. PP ini luput mencantumkan audit dalam pelaporan CSR.

Pasal 5 huruf b UU No.25 Tahun 2007 tentang penanaman modal mewajibkan setiap penanam modal untuk melakukan CSR. Menurut pasal 5 angka 1 PP No.47 tahun 2012, CSR diperhitungkan sebagai biaya. Tampaknya ada ketidaksesuaian antara kedua butir tersebut. Dalam bisnis, biaya diperhitungkan dalam satu periode tertentu sehingga sifatnya jangka pendek. Sementara aktivitas penanaman modal, seperti juga CSR, sifatnya jangka panjang. Undang-undang ini menurunkan daya saing Indonesia di mata penanam modal asing. Belum juga usaha dijalankan dan keuntungan didapat,  tetapi  sudah ada beban biaya wajib tambahan. Alih-alih meningkatkan aktifitas CSR, aturan ini malah berpotensi membuat iklim investasi menjadi tidak menarik.

Regulasi non CSR

Adopsi CSR  oleh dunia usaha di Indonesia perlu didukung dengan regulasi non CSR yang lebih baik yang meliputi unsur serta prinsip pelaksanaan CSR yang sebenarnya. Undang-undang yang mewajibkan CSR tidak diperlukan apabila peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan dunia usaha terperinci dengan jelas. Undang-undang mengenai dampak lingkungan, ketenagakerjaan, kesetaraan gender dalam pekerjaan, pengupahan, persaingan usaha dan perlindungan konsumen misalnya, perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya.

Dengan merinci regulasi yang berkaitan dengan dunia usaha, CSR dapat dilakukan tanpa paksaan sehingga dapat tercapai dua hal sekaligus: (1) terciptanya lingkungan bisnis yang sehat dengan aturan yang jelas, dan (2) terciptanya peluang bagi perusahaan untuk menjalankan CSR tanpa paksaan.

Setelah paparan di atas, tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa CSR bukan sekedar aktifitas pemoles kegiatan yang membawa dampak negatif secara sosial. Regulasi yang mengatur CSR di Indoensia, bukan saja diskriminatif, tetapi juga rancu dan sarat dengan kepentingan penguasa. Di seluruh dunia, hanya Indonesia satu-satunya negara yang mewajibkan CSR melalui Undang-undang. Ironisnya, secara substansi regulasi tersebut  berbeda dengan definisi dan pemahaman yang berlaku umum di dunia. Kalau sudah seperti ini, siapa yang salah paham?

------------------

No comments:

Post a Comment