Tuesday, February 5, 2019

Agenda-Setting Theory

Agenda-setting theory pertama kali diajukan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw di Public Opinion Quarterly pada tahun 1972. Mereka menyatakan bahwa media lah yang menetapkan agenda atau isu publik. Menetapkan di sini bukan secara spesifik media menyatakan bahwa suatu isu penting untuk publik, melainkan secara tidak langsung memberitahukan publik untuk memikirkannya, bahwa ada isu yang perlu didiskusikan.

Dua asumsi dasar dari agenda-setting theory adalah:
  1. pers dan media tidak mencerminkan realita atau kenyataan; mereka menyaring dan membentuknya;
  2. konsentrasi media pada beberapa isu dan subjek mengarahkan publik untuk menganggap bahwa beberapa isu lebih penting daripada isu-isu lainnya.
Sementara realitas atau kenyataan diinterpretasikan secara subjektif oleh manusia. Pernyataan ini didukung oleh banyak penelitian di bidang neuroscience. Alih-alih membangun realitas dari awal, neuroscience berpendapat bahwa manusia merekonstruksi realitas, artinya manusia sendiri yang menyusun dan memahami dunia yang berkaitan dengan diri mereka. Manusia berhalusinasi dalam menginterpretasikan realitas.

Bayangkan, agenda-setting theory sebagai sebuah bagian dari proses distorsi masif akan interpretasi realitas publik. Kita diperdaya berkali-kali, baik secara internal oleh pikiran kita sendiri (ilusi dan bias) maupun secara eksternal melalui media yang kita konsumsi.

Kembali ke McCombs dan Shaw, yang menarik dari kajian mereka dan menjadi relevan saat ini adalah konteks yang mereka ambil. Mereka menyelidiki fungsi pengaturan agenda media massa dalam kampanye presiden 1968, mereka berusaha untuk menilai hubungan antara apa yang pemilih katakan dalam satu komunitas sebagai masalah penting dan isi pesan media yang sebenarnya digunakan selama kampanye. McCombs dan Shaw menyimpulkan bahwa media massa memberikan pengaruh signifikan pada apa yang dianggap pemilih sebagai masalah utama, bukan realita sebenarnya.

Jadi ketika anda begitu yakin dengan pilihan capres 2019 ini, pikirkan lagi! Ingat Anda telah diperdaya berkali-kali oleh otak Anda sendiri dan media yang Anda konsumsi.

Thursday, January 31, 2019

Illusions & Biases

We are born with #illusions and growing up with #bias. Even when we are confident about our intelligence and our deliberate #decision, we cannot avoid the fact that we make a lot of mistakes throughout our lives caused by illusions and biases. Well, we have to admit that it is very difficult to find illusions and biases in ourselves, since it often comes from our subconscious thinking.
If you are a business start up, take illusions and bias seriously. You should be aware of overconfidence, illusions of control, and belief in the law of small number. According to Simon, Houghton and Aquinoc in their paper, #entrepreneurs are more likely to show excessive illusions and biases. They can fail to find the limits of their knowledge, so they assume less risk. Some succeeded in their efforts, but many failed miserably.
And here is to add to another problem, we go through our daily lives in controlled hallucinations (I borrow this term from Anil Seth) or we would rather call it consciousness. Consciousness can be interpreted as an algorithm – a series of logical cause-and-effect statements. We are actually in a constant hallucination, we seldom interpret reality wrongly.
So if you think that you are always right on every decision you make, think again! Be cautious, be humble my friend.
Simon, Houghton and Aquinoc (2000) https://www.sciencedirect.com/…/artic…/pii/S0883902698000032
Anil Seth (2018) Perception as a controlled hallucination http://www.anilseth.com/podcasts-and-interviews

FLOW

Banyak orang sepakat bahwa kecukupan materi penting untuk mencapai kebahagiaan dan pastinya, semua akan sepakat untuk tidak sepakat perihal arti cukup itu sendiri. Kurangnya materi berkorelasi positif dengan ketidakbahagiaan. Patut diduga hal ini berlaku pula pada peningkatan materi. Peningkatan materi disinyalir juga tidak meningkatkan kebahagian seseorang. Sebuah studi berdasarkan survei Gallup World Poll di 164 negara, menunjukkan bahwa ada titik jenuh di mana pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi tidak menghasilkan kebahagiaan lagi.

Telah banyak studi dilakukan untuk menelaah kebahagiaan. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Mihaly Csíkszentmihályi. Mihaly menemukan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan sejati selama dalam kondisi kesadaran yang ia sebut “Flow”. Mihaly menegaskan: The best moments in our lives are not the passive, receptive, relaxing times. The best moments usually occur if a person’s body or mind is stretched to its limits in a voluntary effort to accomplish something difficult and worthwhile.

Omong-omong soal bahagia, dalam dunia bisnis, di era experience economy ini kebahagiaan pelanggan dilihat sebagai bisnis multi-miliar. Membahagiakan pelanggan menjadi prioritas utama mengingat kebahagiaan pelanggan berarti revenue bagi bisnis. “Jangan hanya memuaskan pelanggan Anda — delight them... Siapa pun yang memiliki pelanggan yang bahagia cenderung memiliki masa depan yang cukup baik” ujar Warren Buffett. Dalam dunia bisnis, Flow adalah “The Ultimate Purpose of Customer Experience”. Kita berharap pelanggan terhanyut dalam perjalanan yang menantang dan menyenangkan saat mereka mengonsumsi layanan kita.

Beberapa brand hebat berfokus pada apa yang apa yang dapat men-”drives” pelanggan. Usaha-usaha mereka tidak ditujukan pada “sale” semata. Intensi mereka adalah menawarkan jawaban bagi pelanggan dalam memenuhi kebutuhannya (need). Dus, pemasaran mereka tidak hanya memberikan narasi akan cerita yang baik (good story), lebih jauh mereka memberikan nilai (value) melalui “Flow”.

Tantangan brand saat ini adalah bagaimana caranya membuat pelanggan mengalami apa yang disebut Mihaly sebagai Flow. Untuk itu brand perlu mendesain perjalanan pelanggan sebaik mungkin dan menjaga setiap touchpoints agar dapat memberikan hanya pengalaman yang “delighted”.

Begitu pula sebaiknya dengan hidup kita. Dalam mencapai kebahagiaan, temukan aktivitas yang memberikan “Flow”. Find your flow and Just go with the flow!

Happy New Year 2019

Ketika kita berbicara tentang kebahagiaan, kita tahu bahwa kebahagiaan datang dari berbagai sumber, tergantung dari sudut pandang seseorang. Kita tidak tahu betapa bahagianya kita karena kebahagiaan itu begitu relatif. Dalam mencerna kebahagiaan, proses kognitif lah yang paling bertanggung jawab. Kahneman, sang pemenang nobel, telah menunjukkan bagaimana otak kita dirancang sedemikian rupa sehingga kita memiliki dua mental operating system; diri yang mengalami (experiencing self) dan diri yang mengingat (remembering self/narrative self). The experience self remembers nothing, tells no stories! Hanya narrative self yang dapat menyimpan kenangan (memory). “Narrative is stitched intrinsically into the fabric of human psychology” katanya. Kebahagiaan tergantung pada dua sistem tersebut. Kita mengalami momen kebahagiaan dan kita bisa merekayasa kebahagian melalui narasi.
Namun tidak seperti kebanyakan cerita yang kita dengar, hidup kita tidak melulu mengikuti lika-liku yang telah ditentukan. Identitas dan pengalaman kita terus berubah, dan hanya dengan bercerita kita dapat memahaminya. Dengan mengambil bagian-bagian berbeda dari hidup kita dan menempatkannya bersama dalam sebuah narasi, kita menciptakan keseluruhan yang menyatukan yang memungkinkan kita untuk memahami hidup kita secara koheren - dan koherensi adalah sumber kunci makna (Associative Network of Knowledge).
Narrative self adalah pendongeng sejati. Dia pula yang dapat menentukan tindakan kita ketika kita memikirkan masa depan sebagai ingatan yang diantisipasi (anticipated memory). Kita semua adalah pendongeng dan terlibat dalam tindakan penciptaan komposisi hidup kita.
Untuk tahun 2018, simpanlah hanya memori yang indah, menyenangkan dan membahagiakan dalam cerita kita. Sekarang, untuk 2019, What is your anticipated memory? what is your story? Happy New Year Folks!

Monday, August 13, 2018

Alternatif Inovasi Model Bisnis dalam Era Experience Economy


Gelombang pasang dari era digitalisasi telah menciptakan perairan berombak ganas bagi peritel tradisional dan perusahaan consumer goods pada umumnya. Sejalan dengan semakin berdayanya konsumen secara digital, permintaan akan pengalaman-pengalaman berbelanja (shopping experience; user experience) semakin tinggi. Konsumen menuntut adanya brand engagement, yang sekaligus berarti kemudahan cara dalam setiap pengalaman pembelian barang maupun jasa, di berbagai kanal distribusi. Industri B2C dipaksa untuk menjalani salah satu transformasi paling dinamis dalam sejarah mereka.
Tanda-tanda kekalahan sebagai akibat perusahan gagal menghadapi perubahan saat ini telah terlihat semakin nyata. Penutupan toko, pergeseran tenaga kerja, dan likuidasi telah menjadi hal yang biasa bagi peritel tradisional yang kandas mengikuti perkembangan digital. Dengan hadirnya para online disruptor yaang berhasil mencuri pangsa pasar, ditambah lagi dengan respon konsumen yang positif terhadap pilihan yang lebih besar, peritel dan perusahaan barang konsumen perlu memikirkan kembali secara fundamental tujuan mereka untuk memastikan relevansi di masa mendatang. Ini bukan krisis tradisional persaingan, pelaksanaan operasional, atau komunikasi; ini adalah sebuah masalah eksistensial. Mereka yang duduk diam pasti akan tertinggal.

Era Experience Economy
Seperti yang sudah diprediksikan oleh Pine dan Gilmore[i] dua dekade yang lalu, kita saat ini berada di masa yang mereka sebut sebagai experience economy. Experience economy merupakan suatu pergeseran dari ekonomi berdasarkan pada layanan konsumsi (consuming services) atau memiliki sesuatu (owning things), menjadi ekonomi yang didukung oleh investasi dalam pengalaman. Pergeseran ini sebagian besar terjadi berkat adanya kemajuan teknologi dan, tentu saja,  lahirnya generasi millennial.
Pada era ini, konsumen dan produsen digambarkan secara bersamaan menciptakan value berupa pengalaman. Berikut adalah lima peluang aktivitas penciptaan nilai (value-creating activities[ii]) yang sangat mungkin akan mendorong kemajuan lebih jauh dalam era experience economy yang dinamis:

  • Mempersonalisasikan barang (product customization).
  • Meningkatkan layanan.
  • Memberi harga untuk sebuah pengalaman.
  • Memadukan teknologi digital dengan realita.
  •  Pengalaman transformatif.

Consumer Journey
Experience economy sangat menitikberatkan pentingnya memahami perjalanan konsumen (consumer journey). Secara sederhana perjalan konsumen dapat dilustrsikan dalam proses pengambilan keputusan konsumen. Memahami bagaimana konsumen menggunakan internet adalah penting karena dalam proses pengambilan keputusannya, seringkali konsumen menkombinasikan "web rooming" (yaitu, kegiatan mengunjungi peritel setelah mereka mengumpulkan informasi dari internet yang cukup mengenai harga, kinerja dan kualitas online) dan "show rooming" (yaitu, kegiatan mengunjungi peritel terlebih dahulu sebelum mencari web untuk informasi tentang cara membeli produk secara online).
Penting untuk memahami perjalanan konsumen karena pemasar harus membuat keputusan yang tepat sesuai dengan perilaku pembelian yang berbeda-beda dari target pasar yang juga berbeda-beda. Kenyataannya, sulit bagi pemasar untuk mengidentifikasi perjalanan pembelian konsumen melalui metode penelitian tradisional yang ada, seperti survey misalnya. Hal ini karena konsumen saat ini memanfaatkan beragam titik kontak atau touchpoints (misal: situs web, smartphone, media sosial, dll.) dalam pencarian informasi online mereka. Hampir tidak mungkin memahami perilaku online konsumen dengan akurat jika kita hanya bergantung pada ingatan responden saja, seperti yang terjadi pada survey tradisional. Selain itu, kemudahan perjalanan antara titik sentuh digital dan kunjungan singkat di setiap titik sentuh memperkuat "pemikiran dekat-konteks" konsumen.
Di sini lah manfaatnya sebuah bisnis memiliki consumer innovator, yaitu konsumen yang tinggi tingkat engagement dan loyalitasnya. Mereka bisa menjadi sumber informasi mengenai berbagai ragam perjalanan konsumen. Mereka paham betul seluk beluk layanan yang kita tawarkan.

Inovasi Model Bisnis
Peritel tradisional dan perusahaan barang konsumen yang lambat menanggapi realita ini dapat menghirup kembali kehidupan baru ke dalam organisasi mereka dengan cara membayangkan kembali bagaimana mereka melayani pelanggan. Apabila kita mau melihat ke belakang dan memperhatikan bagaimana perusahaan-perusahaan tradisional besar kandas, mereka ternyata gagal memahami perilaku konsumennya. Mereka mengerjakan pekerjaan rumah yang salah. Apa yang seharusnya benar-benar mereka lakukan adalah mengetahui apa yang diharapkan untuk dicapai oleh pelanggan. Inilah yang kerap dikatakan oleh para pakar sebagai job to be done[iii].
Berkat revolusi data yang besar, perusahaan kini dapat mengumpulkan variasi dan volume informasi pelanggan yang luar biasa, tentunya dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan pada saat yang bersamaan melakukan analisis canggih terhadapnya. Banyak perusahaan telah menetapkan proses inovasi yang terstruktur dan berdisiplin serta membawa talenta yang sangat terampil untuk menjalankannya. Sebagian besar perusahaan menghitung dengan hati-hati dan mengurangi risiko inovasi. Dari luar, tampak seolah-olah perusahaan telah menguasai proses ilmiah yang tepat. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka belum mampu menjalankan disiplin tersebut.
Untuk mencapai tahap yang lebih maju dari perdagangan digital dan untuk tetap selalu berkembang di dekade berikutnya, peritel dan perusahaan barang konsumen harus secara agresif mengejar inovasi dan bersedia untuk merombak diri mereka sendiri. Empat model bisnis[iv] berikut memiliki potensi terkuat untuk mengubah perdagangan digital:
1.      Ekonomi berbagi (Sharing economy). Ini pada dasarnya adalah pasar sewa/rental generasi kini yang memungkinkan konsumen mengkonsumsi produk tanpa kepemilikan langsung. Tokorental.com, sevva.co, dan babyloania.com adalah beberapa contoh layanan yang telah hadir di tengah masyarakat.
2.      Ekonomi Personalisasi (Personalization economy). Di sini para pakar merancang produk yang disesuaikan untuk individu dan secara otomatis mengantarkannya ke depan pintu mereka. Nike melalui NIKEiD adalah salah satu merek terkemuka pertama yang menawarkan kepada pelanggan kemampuan untuk mendesain sendiri produk secara online. Perusahaan seperti Stitchfix menggunakan campuran analytics dan konsultan gaya yang sangat maju untuk menciptakan rekomendasi yang sangat spesifik bagi konsumen mereka.
3.      Ekonomi layanan (Service economy). Juga dikenal sebagai layanan "lakukan untuk saya". Ini terjadi ketika konsumen mengalihkan pekerjaan rumah tangga berat kepada orang lain. Go-Clean dari Go-Jek adalah salah satu contoh dari layanan ini. Anda dapat memesan layanan cleaning service sesuai kebutuhan.
4.      Ekonomi Pengisian-ulang (Replenishment economy). Pengisian otomatis terjadi ketika sensor cerdas mendeteksi kapan produk barang konsumen hampir habis dan secara otomatis mengaturnya kembali untuk segera melakukan pemesanan. Ini menghilangkan menit-menit terakhir perjalanan ke toko untuk konsumen. Baru-baru ini Amazon memperkenalkan apa yang mereka sebut sebagai Tombol Dash. Tombol Dash adalah tombol kecil dari perangkat berkemampuan bluetooth bermerek, yang telah diatur untuk memesan produk tertentu dari Amazon saat diaktifkan. Sebagai contoh, ketika Anda menempatkan Tombol dash dari produk detergen, Anda tinggal menekan tombol tersebut untuk segera dihubungkan dengan akun Anda di Amazon dan produk akan secara otomatis dikirim ke rumah Anda.
Bersamaan dengan adanya harapan di seputar biaya, pilihan, kenyamanan, dan pengalaman yang terus meningkat, konsumen akan terus menantang industri untuk berevolusi dan berinovasi, mendorong pertumbuhan besar dalam perdagangan digital. Untuk menangkap peluang di depan mereka, peritel dan perusahaan barang konsumsi harus merespons dengan segera harapan tersebut.

Artikel ini dimuat di Majalah Marketing edisi Mei 2018

References


[i] Pine, B., & Gilmore, J., (1999). The experience economy : Work is theatre & every business a stage. Boston: Harvard Business School Press.
[ii] Pine, B., & Gilmore, J., (2014). A leader's guide to innovation in the experience economy. Strategy & Leadership, 42(1), 24-29.
[iii] Christensen, C., Hall, T., Dillon, K., & Duncan, D. (2016). Know Your Customers' "Jobs to Be Done". Harvard Business Review, 1.
[iv] Wollan, R., & Donnelly, C. (2017). Retailers must embrace new shopping experiences: Online disruptors and a new breed of digital consumer mean its sink-or-swim time for traditional retailers and consumer goods sellers. CRM Magazine, 21(8), 4-5.

Tuesday, December 23, 2014

Marketer sebagai Follower (Full Article)

Saat ini kita masih berada dalam fase perkembangan teknologi informasi yang menakjubkan. Dalam dunia komunikasi bisnis, kita mengalami apa yang dikatakan sebagai revolusi horizontal, yaitu revolusi yang terjadi karena informasi mengalir berkelintaran di antara orang per orang dan  bukan lagi didominasi oleh informasi yang berasal dari perusahaan ke perorangan.

Kontan. Senin 15 Desember 2014Kontan. Senin 15 Desember 2014

Menilik kembali saat ketika teknologi informasi belum begitu canggih seperti saat ini, informasi sebuah produk didapatkan oleh konsumen melalui cara-cara pemasaran konservatif. Cara-cara promosi off-line seperti iklan, personal selling atau public relationssangat ampuh dalam mengkomunikasikan manfaat (value) sebuah produk atau jasa kepada segmen pasar yang ditujunya. Biasanya perusahaan mencoba untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai macam kanal komunikasi tersebut untuk menyampaikan pesan-pesan yang mereka inginkan kepada konsumen untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Tentunya saat ini cara pemasaran konservatif dan media tradisional masih memiliki peran yang sangat penting walaupun pada saat bersamaan, terjadi gejala penurunan kepercayaan pelanggan yang cukup signifikan. Pada tahun 2012, Nielsen’s Global Trust in Advertising Survey  dalam Global Consumers' Trust In 'Earned' Advertising Grows In Importance, mengungkapkan bahwa dari 28.000 responden pengguna internet di 56 negara memperlihatkan hampir setengah (47%) dari responden tersebut mengatakan bahwa tingkat kepercayaan mereka terhadap televisi, iklan majalah dan koran menurun. Lebih jauh, penurunan tersebut sebanyak 24%, 20% dan 25% secara berturut-turut sejak 2009.

Earned dan Owned Media
Sejalan dengan semakin majunya teknologi informasi dan adaptasi yang semakin baik oleh konsumen, kini teknologi informasi menawarkan berbagai macam alternatif media untuk bersosialisasi. Teknologi media sosial mewujud dalam bentuk majalah, microblogging(seperti twitter, tumblr), forum-forum internet (seperti kaskus.co.id), weblogs, foto dan gambar (seperti Instagram), social networks (seperti Facebook, Path, LinkedIn), rating, dan social bookmarking (seperti Pinterest). Kemajuan teknologi-teknologi  inilah yang menjadikan penyebaran penggunaan media sosial menjadi semakin luas. Kondisi ini memungkinkan terjadinya interaksi antar pengguna baik secara real time, maupun tidak (atau dengan kata lain, tidak mengharuskan pengguna untuk juga merespon secepatnya). Bentuk-bentuk sosial media tersebut secara sederhana juga dapat dilihat melalui dua perspektif besar; earned dan owned media.

Secara tradisional, earned media adalah istilah yang diberikan untuk publisitas yang dilakukan oleh Public Relations dengan menggunakan target influencer guna meningkatkanbrand awareness. Pada saat ini earned media mengalami modifikasi medium sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi. Sebagai contoh: earned media berupaword-of-mouth (WOM). Word-of-mouth dapat dirangsang melalui viral marketing pada media sosial yang mencakup pula percakapan di jaringan sosial, blog dan komunitas lainnya. Hasil modifikasi earned media ini, walaupun relatif baru, memiliki peran yang sangat menjajikan bagi komunikasi dua arah antara pemasar dan konsumen.

Pada saat yang bersamaan, owned media sebagai media yang dimiliki oleh perusahaan juga harus dikelola secara serius. Owned media dapat berupa situs resmi perusahaan, blog, aplikasi mobile atau dapat juga berupa kehadiran sosial perusahaan secara resmi di Facebook, Linked In atau Twitter. Patut untuk menjadi perhatian bahwa banyak perusahaan yang belum mengelola website mereka dengan serius. Forrester Research, perusahaan penyedia jasa riset pasar, dalam laporannya pada tahun 2012 yang berjudul Lessons Learned From 1,500 Website User Experience Reviews, mereka menyatakan bahwa hanya 3% (45 perusahaan) dari 1500 perusaahaan yang diteliti mendapatkanpassing score (angka kelulusan) untuk penilaian dari segi user experience.  User experience sendiri didefinisikan sebagai pengalaman pengguna secara menyeluruh dalam menggunakan sebuah produk seperti website atau aplikasi komputer, terutama dalam hal kemudahan dan kenyamanan penggunaan. Ini merupakan bukti bahwa banyak sekali perusahaan yang tidak mengangap penting keberadaan owned media mereka.

Padahal apabila kita sadari, komentar dan rating pengguna (user rating) pada kontenowned media atau media online lainnya adalah opini publik yang bersifat user-generatedyang sangat kuat dan berpengaruh pada konsumen. Pada prakteknya, opini pelanggan muncul ketika pengguna diberi fasilitas untuk mengekspresikan dan membagikan kesan-kesan yang mereka peroleh kepada pengguna yang lain. Pada saat yang bersamaan, banyak pengguna mencoba mencari informasi yang tidak bias dan tidak berasal dari perusahaan maupun pesaing untuk membantu mereka dalam proses pengambilan keputusannya. Sementara itu, banyak penelitian yang mengatakan bahwa earned media, dalam hal ini komunikasi online yang berupa word-of-mouth mengenai opini dan ulasan produk, merupakan informasi yang paling berpengaruh bagi pengambilan keputusan konsumen. Tentunya perlu disadari bahwa tidak semua rating dan ulasan online merupakan user-generated. Beberapa perusahaan menggunakan pakar sebagai kontributor; sebagai contoh Rotten Tomatoes (www.rottentomatoes.com) yang menggunakan para pakar dan profesional  untuk mengulas film dan DVD yang baru dikeluarkan. Walaupun demikian, mereka tetap menyadari pentingnya suara pengguna sehingga mereka tetap memberikan tempat bagi penilaian oleh pengguna.

Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketika kita berbicara mengenai penilaian dan ulasan, opini pakar dan profesional berperan sebagai pelengkap dari opini pengguna biasa. Saat ini konsumen lebih mempercayai informasi yang berasal dari sesama pengguna online dibandingkan dengan televisi, amajalah, radio atau juga dari iklan di internet dan bahkan rekomendasi dari salesperson dan paid endorser sekalipun. Menurut survey yang dipublikasikan oleh Dimensional Research (2013), 90% pelanggan mengatakan bahwa keputusan membeli mereka dipengaruhi oleh ulasan online. Di sini lah pentingnya maksimalisasi earned dan owned media

Partisipasi Konsumen Semakin Dominan
Sangat jelas terasa bahwa perkembangan teknologi informasi telah merubah banyak hal, termasuk di dalamnya bagaimana cara konsumen mendapatkan informasi. Dulu, komunikasi pemasaran cenderung satu arah dan didominasi oleh perusahaan. Saat itu, partisipasi konsumen pun masih rendah sehingga praktis informasi menjadi tidak berimbang. Sebagai alternatifnya, konsumen sangat mengandalkan word-of-mouth dari kerabat dekat atau teman sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke gerai guna mendapatkan informasi yang lebih banyak dan akurat. Sayangnya, saat ini, hal tersebut sudah tidak relevan lagi.

Perkembangan teknologi informasi telah meningkatkan kesadaran konsumen akan kebutuhan informasi yang cepat dan akurat. Dengan semakin terintegrasinya teknologi komunikasi, informasi yang didapatkan oleh konsumen adalah informasi real time. Hampir tidak ada jeda. Kebutuhan konsumen akan informasi akurat secara signifikan akhirnya mempengaruhi perilaku konsumen dalam mencari informasi. Konsumen semakin proaktif dalam mencari informasi.

Perlu juga dipahami bahwa manusia adalah makhluk sosial yang suka berbagi informasi, baik dengan tujuan positif maupun negatif. Hasrat manusia untuk berbagi informasi juga terakomodasi dengan baik oleh perkembangan teknologi informasi. Media sosial kemudian menjadi tempat yang tepat bagi pertemuan antara pencari dan pemberi informasi.

Data-data berikut mendukung adanya perubahan perubahan perilaku konsumen dalam mendapatkan informasi. Nielsen’s Global Trust in Advertising Survey  melaporkan bahwa 92% konsumen di seluruh dunia mengatakan bahwa mereka mempercayai earend media. Masih dalam laporan yang sama, 70% (kenaikan sebesar 15% dalam 4 tahun) responden  menyatakan bahwa ulasan (review) konsumen online adalah salah satu platform terpercaya. Diperkuat oleh survey yang dilakukan oleh Google pada tahun 2011 yang menemukan bahwa rata-rata kensumen berkonsultasi ke 10,4 sumber-sumber informasi (mengalami kenaikan hampir dua kali sejak tahun 2010) sebelum melakuan pembelian.

Konsumen Semakin “Demanding”  dan Mendikte Product Development
Dengan kecenderungan peningkatan  pencarian informasi melalui media sosial oleh konsumen, tantangan baru pun muncul. Tantangan itu adalah kenyataan bahwa saat ini konsumen jauh lebih percaya pada sumber-sumber yang berasal dari sesama konsumen daripada iklan-iklan tradisional. Komunitas virtual konsumen kemudian berperan sebagai penyangga sosial (social support) yang dijadikan konsumen sebagai tolok ukur dalam pengambilan keputusan. Di zaman sekarang, ketika seorang konsumen mempertimbangkan restoran yang tepat untuk mengundang koleganya makan malam, ia akan merujuk pada ulasan online kuliner seperti yukmakan.comopenrice.com, dan semacamnya.

Sinan Aral dan Dylan Walker dalam artikelnya yang dimuat di Managament Science dengan judul Creating Social Contagion Through Viral Product Design: A Randomized Trial of Peer Influence in Networks menyatakan bahwa efek ulasan online bersifat menular. Ketika suatu obyek mendapat rating tinggi dari mayoritas online reviewer, kita pun tertular oleh hawa ulasan positif tersebut sampai-sampai kita ikut menyukai obyek tersebut dan cenderung untuk memberi penilaian yang tinggi pula. Begitu pula yang terjadi sebaliknya ketika ulasan online bersifat negatif. Kecenderungan peningkatan partisipasi ini dibarengi pula dengan peningkatan ekspektasi konsumen. Peningkatan ekspektasi ini harus dapat dikelola dengan baik oleh pemasar dan perusahaan.

Konsekuensi logis lain dari komunikasi interaktif antara konsumen pencari informasi dan pembagi informasi salah satunya adalah konsumen menjadi semakin terdidik. Mungkin suatu perusahaan bisa saja berpikir untuk menyewa komentator bayaran yang tugasnya adalah berpura-pura sebagai konsumen puas yang menyanjung dan membanggakan produk atau jasa perusahaan di dunia virtual. Dalam pikiran perusahaan tersebut, 'tokh ini dunia virtual; tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pemiliki akun penyanjung produk tersebut'. Walaupun terdengar menggiurkan, cara kotor ini akan mematikan perusahaan dalam jangka panjang karena konsumen yang telah semakin cerdas mampu mendeteksi mana kebenaran dan kebohongan virtual.

Pada suatu saatnya nanti, konsumen yang cerdas dan terdidik ini kemudian mengajukan banyak tuntutan dan akhirnya mendikte pengembangan produk perusahaan. Melalui kemampuannya untuk memberikan penilaian langsung terhadap suatu produk atau jasa di ranah publik, berbagi penilaian dan pengalaman dengan konsumen lain, serta menyampaikan masukan langsung kepada perusahaan, konsumen akhirnya memiliki kekuatan untuk menuntut perusahaan merespon perubahan selera konsumen.

Menjadi Follower
Lantas, apa yang harus dilakukan marketer di zaman berkuasanya media sosial seperti saat ini? Salah satunya adalah menjadi follower. Dengan menjadi follower, marketer dapat menerima feedback langsung dari user di dunia maya. Komentar-komentar pengguna di sosial media merupakan informasi yang sangat berharga yang sekaligus merupakan salah satu sumber dalam memahami konsumen. Marketer harus mampu memanfaatkan sumber-sumber yang mengandung informasi tersebut sehingga dapat menjadi pelengkap bagi riset perilaku konsumen yang telah kita lakukan selama ini.

Word-of-mouth telah seringkali dipandang lebih dipercaya daripada berita satu arah dari marketer. Hal ini jelas karena word-of-mouth datang dari konsumen dan disebarkan untuk konsumen pula, sehingga marketer kurang mempunyai kendali atas berita yang beredar melalui word-of-mouth.  Di media sosial, suatu berita menyebar bisa menyebar dalam bentuk tagar (hashtags), mentiononline review, rating, dan sebagainya, sehingga bisa kita anggap bentuk-bentuk tersebut adalah proxy terdekat word-of-mouth

Perlu diiingat bahwa karakter perilaku konsumen dalam penggunaan media sosial di Asia jauh berbeda dengan konsumen di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Kultur masyarakat Asia yang sangat kuat karakter kekelompokannya (groupism). Karakter kekelompokan ini memicu kecenderungan konsumen Asia untuk membandingkan dirinya dengan lingkungan sosial di sekitarnya (social comparison) dan mematuhi norma sosial (social conformance) yang berlaku. Hal inilah yang disinyalir sebagai penyebab tingginya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat Asia. Kebalikan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, word-of-mouth di pasar konsumen Asia justru lebih banyak terjadi di dunia maya, yang melibatkan percakapan dengan orang-orang yang, bahkan, bukan orang terdekat sekalipun. Oleh karena itu, meskipun pendekatan marketer sebagai follower bisa berlaku di mana pun,  pendekatan ini memiliki tingkat prioritas kepentingan yang lebih tinggi dalam menghadapi pasar konsumen di Asia.

Beberapa tahap yang sebaiknya menjadi perhatian dalam menerapkan pendekatanmarketer sebagai follower adalah sebagai berikut:
  1. Mengidentifikasi dan memilih media sosial yang tepat, baik itu sosial media yang resmi dikelola oleh perusahaan (seperti Facebook atau Twitter resmi perusahaan), maupun forum-forum ataupun blog yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan (seperti forum konsumen atau blog pemerhati bidang usaha tertentu). Perusahaan sebaiknya memilih media yang paling populer, dilihat dari jumlah penguna atau hits(seberapa sering dikunjungi oleh pengguna internet)
  2. Menginventarisir issue. Begitu banyak issue yang dikomentari dan didiskusikan pengguna. Dengan menggunakan teknik analisa coding, kita dapat menangkap issue-issue yang hangat dibicarakan dan melakukan kategorisasi dan berdasarkan topik-topik. Topik-topik ini dapat kita kelompokkan berdasarkan derajat frekuensi pembicaraan dan relevansi dengan value perusahaan.
  3. Pilih topik yang tepat. Cari topik yang paling banyak didiskusikan dan juga tentunya relevan dengan value yang diawarkan perusahaan.
  4. Mengidentifikasi opinion leader. Pada saat kita meninvertarisir issue, kita dapat melihat mengidentifikasi opinion leader yang aktif mengusung issue tersebut. Opinion leader ini bukan saja mereka yang memunculkan issue pertama kali tetapi juga mereka yang secara konsisten mengangkat issue tersebut ke permukaan.
  5. Ikuti opinion leader. Dengan menjadi teman atau follower, kita dapat menggali banyak informasi yang ingin mereka sampaikan. Opion leader dapat berperan sebagai narasumber atau juga responden dalam riset perilaku konsumen kita. Kita dapat menggali informasi-informasi penting yang dapat menjadi input baik itu untuk perbaikan fitur layanan dan produk atau bahkan membuka peluang untuk menciptakan layanan dan produk baru.
References
Aral S., Walker D. (2011) Creating social contagion through viral product design: A randomized trial of peer influence in networks. Management Sci. 57(9):1623–1639

Budovsky, A. Drego, Vidya L., Peterson J., & Bocal, B. (2012). Lessons learned from 1,500 website user experience reviews. Forrester Research

Dimensional Reasearch (2013). Customer service and business results: A survey of customer service from mid-size companies. Dimensional Reasearch. Retrieved fromhttps://d16cvnquvjw7pr.cloudfront.net/resources/whitepapers/Zendesk_WP_Customer_Service_and_Business_Results.pdf

Nielsen’s global trust in advertising survey (2012). Global consumers' trust in 'earned' advertising grows in importance. Nielsen. Retrived fromhttp://www.nielsen.com/us/en/press-room/2012/nielsen-global-consumers-trust-in-earned-advertising-grows.html

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Salah Paham?

Berdasarkan penjelasan atas UU No. 40 tahun 2007, tanggung jawab sosial dan lingkungan didefinisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Koran Tempo. Kamis 16 Mei 2013
Harvard Kennedy School mengeluarkan definisi yang kredibel dan lengkap yang melihat CSR sebagai suatu strategi. CSR menurut mereka tidak hanya meliputi apa yang dilakukan perusahaan dengan keuntungan mereka, tetapi juga bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan. CSR mencakup lebih dari sekedar kedermawanan dan kepatuhan. Pada saat yang bersamaan, CSR dipandang sebagai suatu cara untuk membantu perusahaan mengelola dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan, beserta hubungan perusahaan dengan lingkungan kerja, pasar, supply chain, komunitas, dan domain kebijakan publik. Dalam pemahaman mereka, CSR tertanam dalam keseluruhan aktivitas bisnis, membentang dari hulu hingga hilir. CSR bukan suatu departemen apalagi sekedar aktifitas bersolek (window-dressing) atas kegiatan buruk perusahaan.  Seperti strategi perusahaan di bidang pemasaran, keuangan dan sumberdaya manusia, perusahaan membutuhkan strategi CSR yang tepat untuk menjalankan usahanya.

Pada tahun 2008, di dalam artikel yang dipublikasikan oleh Journal of Corporate Social Responsibility and Environmental Management, Alexander Dahlsrud menganalisa 37 definisi CSR oleh berbagai macam kalangan (akademisi, pemerintah, dan LSM) di seluruh dunia. Ia menemukan adanya kekongruenan di antara definisi-definisi tersebut. Dengan metode content analysis, ia berhasil mengidentifikasi 5 dimensi dari definisi CSR, yaitu: kesukarelaan (voluntariness), stakeholder, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kesukarelaanmerupakan bukti bahwa CSR bukanlah suatu aktivitas yang bersifat wajib.

Salah kaprah?

Apabila kita merujuk pada definisi Harvard dan temuan Dahlsrud di atas, tidak ada kewajiban dan batasan terhadap siapa yang harus melaksanakan CSR; artinya, CSR dapat dilakukan oleh perusahaan dengan bidang usaha apapun. Hal ini berbeda dengan bunyi pasal 74 ayat 1 UU No. 40 tahun 2007 yang mengatakan bahwa hanya perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang wajib melaksanakan CSR. Dengan pemahaman seperti ini seakan-akan hanya perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam saja yang mampu melakukan kegiatan negatif dan berpotensi untuk tidak bertanggungjawab secara sosial. Bagaimana dengan perusahaan sepatu yang mengupah karyawannya di bawah UMR, perusahaan manufaktur yang membuang limbahnya ke sungai, dan tentu saja, bagaimana dengan perusahaan rokok yang produknya terbukti berkontribusi positif terhadap meningkatnya kasus kanker? Apakah mereka tidak wajib untuk menjalankan CSR?

Dalam setiap pelaporan, audit merupakan komponen terpenting. Sebelum dipubikasikan, laporan CSR harus diaudit dan diverifikasi. Tanpa audit, laporan tersebut hanyalah klaim sepihak dari pihak perusahaan. Itu sama halnya seperti kita bercermin dan memuji kecantikan diri sendiri tanpa konfirmasi pendapat dari orang lain. Harus ada lembaga atau pihak ketiga yang kredibel untuk melakukan audit dan menilai akuntabilitas CSR. Pelaporan kegiatan CSR yang diatur pada pasal 6 PP No. 47 tahun 2012 menyatakan bahwa pelaksanaan CSR dimuat dalam laporan tahunan perusahaan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Tentu saja, RUPS adalah rapat umum yang dihadiri oleh pihak-pihak yang memiliki saham dalam perusahaan sehingga tidak merefleksikan kepentingan stakeholders. Dengan demikian, lantas bagaimana pemerintah dapat menilai apabila terjadi pelanggaran?  Oleh karena itu, sebelum dipubikasikan, laporan CSR harus diaudit dan diverifikasi. PP ini luput mencantumkan audit dalam pelaporan CSR.

Pasal 5 huruf b UU No.25 Tahun 2007 tentang penanaman modal mewajibkan setiap penanam modal untuk melakukan CSR. Menurut pasal 5 angka 1 PP No.47 tahun 2012, CSR diperhitungkan sebagai biaya. Tampaknya ada ketidaksesuaian antara kedua butir tersebut. Dalam bisnis, biaya diperhitungkan dalam satu periode tertentu sehingga sifatnya jangka pendek. Sementara aktivitas penanaman modal, seperti juga CSR, sifatnya jangka panjang. Undang-undang ini menurunkan daya saing Indonesia di mata penanam modal asing. Belum juga usaha dijalankan dan keuntungan didapat,  tetapi  sudah ada beban biaya wajib tambahan. Alih-alih meningkatkan aktifitas CSR, aturan ini malah berpotensi membuat iklim investasi menjadi tidak menarik.

Regulasi non CSR

Adopsi CSR  oleh dunia usaha di Indonesia perlu didukung dengan regulasi non CSR yang lebih baik yang meliputi unsur serta prinsip pelaksanaan CSR yang sebenarnya. Undang-undang yang mewajibkan CSR tidak diperlukan apabila peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan dunia usaha terperinci dengan jelas. Undang-undang mengenai dampak lingkungan, ketenagakerjaan, kesetaraan gender dalam pekerjaan, pengupahan, persaingan usaha dan perlindungan konsumen misalnya, perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya.

Dengan merinci regulasi yang berkaitan dengan dunia usaha, CSR dapat dilakukan tanpa paksaan sehingga dapat tercapai dua hal sekaligus: (1) terciptanya lingkungan bisnis yang sehat dengan aturan yang jelas, dan (2) terciptanya peluang bagi perusahaan untuk menjalankan CSR tanpa paksaan.

Setelah paparan di atas, tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa CSR bukan sekedar aktifitas pemoles kegiatan yang membawa dampak negatif secara sosial. Regulasi yang mengatur CSR di Indoensia, bukan saja diskriminatif, tetapi juga rancu dan sarat dengan kepentingan penguasa. Di seluruh dunia, hanya Indonesia satu-satunya negara yang mewajibkan CSR melalui Undang-undang. Ironisnya, secara substansi regulasi tersebut  berbeda dengan definisi dan pemahaman yang berlaku umum di dunia. Kalau sudah seperti ini, siapa yang salah paham?

------------------